Oleh: Madekhan Ali
“Deteksi risiko kecurangan atau korupsi di lembaga birokrasi harus menjadi prioritas manajemen risiko. Karena korupsi mengancam eksistensi, pencapaian visi, misi, tujuan birokrasi”
Manajemen Risiko adalah serangkaian kegiatan terencana dan terukur untuk mengelola dan mengendalikan risiko yang berpotensi mengancam keberlangsungan dan pencapaian tujuan organisasi. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) Pasal 13 ” Pimpinan Instansi Pemerintah wajib melakukan penilaian risiko”. SPIP mengharuskan entitas setiap instansi pemerintah melakukan penilaian risiko (risk assessment) dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Penilaian resiko adalah tahap awal dalam manajemen resiko dimana instansi birokrasi harus mampu mengidentifikasi hal-hal yang mengancam eksistensi, pencapaian visi, misi, tujuan organisasi. Baik risiko yang berasal dari faktor eksternal misalnya peraturan perundang-undangan baru, perkembangan teknologi, bencana alam, dan gangguan keamanan. Maupun risiko yang bersumber dari internal organisasi misalnya keterbatasan dana operasional, sumber daya manusia yang tidak kompeten, peralatan yang tidak memadai, kebijakan dan prosedur yang tidak jelas, dan suasana kerja yang tidak kondusif.
Dalam analisis manajemen resiko setidaknya terdapat 7 (tujuh) kategori risiko yang sangat mungkin terjadi di instansi pemerintahan:
- Risiko Fiskal. Risiko yang disebabkan oleh segala sesuatu yang baik yang berasal dari deviasi APBD maupun kewajiban kontinjensi Pemerintah Pusat maupun daerah atau sumber risiko fiskal sebagaimana dinyatakan dalam nota keuangan;
- Risiko Kebijakan, yaitu risiko yang disebabkan adanya penetapan kebijakan pemerintah atau kebijakan internal organisasi yang berdampak langsung terhadap Organisasi;
- Risiko Kepatuhan. Risiko ini yang disebabkan organisasi atau pihak pihak eksternal yang tidak mematuhi atau melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku;
- Risiko Legal. Risiko yang disebabkan oleh adanya tuntutan hukum terhadap organisasi;
- Risiko Kecurangan/korupsi, yaitu risiko yang disebabkan oleh kecurangan yang dilakukan pihak internal organisasi yang merugikan keuangan Negara;
- Risiko Reputasi atau risiko yang disebabkan oleh menurunnya tingkat kepercayaan para pelaku atau pemangku kepentingan eksternal birokrasi bersumber dari persepsi negatif terhadap organisasi;
- Risiko Operasional adalah risiko yang disebabkan oleh : a) Ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, dan kegagalan sistem, b) Adanya kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional Organisasi.
Dari sekian kategori risiko, saat ini birokrasi di sebagian besar pemerintahan paling potensial menghadapi risiko kecurangan. Kita mengetahui banyak kasus kecurangan personil birokrasi yang bukan saja merugikan keuangan negara, tetapi juga menggerogoti reputasi instansi, dan tentu kinerja pelayanan publik. Kasus korupsi birokrasi sering berkelindan dengan kepentingan politik praktis dan pemilik modal (investor). Tidak heran bila risiko korupsi di birokrasi ini banyak yang meyakini disebabkan oleh tingginya biaya politik internal dan eksternal birokrasi yang terjadi secara sistemik.
Berdasar logika simbiosis mutualisma, aparat birokrasi bekerja sama dengan politisi dapat mengeruk keuntungan material dari jabatan atau kewenangan masing-masing. Tidak jarang pula, aparat birokrasi “terbentuk” berbuat koruptif karena menjadi terlibat dalam kekuatan politik internal maupun eksternal organisasi. Karenanya, organisasi birokrasi harus menemukan faktor-faktor yang membuat aparaturnya rentan terhadap risiko korupsi, dan kemudian menetapkan satu manajemen risiko pencegahan korupsi.
Faktor korupsi yang saling berkaitan di lingkungan birokrasi dapat dimungkinkan akibat integritas pegawai yang lemah. Integritas tentu juga ditentukan oleh seberapa efektif instansi pengawas (auditor) melaksanakan tugasnya. Rendahnya profesionalitas aparatur pemerintah juga sangat mungkin terjadi akibat sistem meritokrasi yang tidak berjalan. Istilah populernya “nomor urut kepangkatan kalah dengan nomor urut kedekatan.”
Teorinya: meritokrasi adalah mekanisme ideal promosi karir ASN yang menjunjung aspek prestasi pegawai. Kecenderungannya: konon dalam promosi pegawai, prestasi hanya menjadi pertimbangan nomor kesekian setelah relasi dan setoran tunai. Jadi dalil bahwa korupsi di birokrasi adalah akibat tingkat kesejahteraan ASN yang minimalis memang ada benarnya. Tetapi dalil tersebut hanya berlaku bagi korupsi kelas teri yang melibatkan remah-remah kerugian keuangan negara. Khususnya terjadi ketika sistem remunerasi kinerja sengaja tidak dilaksanakan oleh pejabat yang berwenang dengan alasan keterbatasan kapasitas anggaran organisasinya. Maka muncul cibiran di kalangan pegawai level bawah, “kalau PR (pekerjaan) adalah urusan bawahan, sementara Rp (uang) urusan atasan”.
Oleh karena itu, bila birokrasi berani konsisten dengan kebijakan yang telah ditetapkan, seperti di Indonesia dengan adanya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) harus ada pelaksanaan manajemen resiko secara menyeluruh. Manajemen risiko dalam 7 (tujuh) kategori di atas menjadi kebutuhan untuk mengangkat reputasi birokrasi di Indonesia dari keterpurukan tingkat kepercayaan publik. Baik itu melalui inovasi tata kelola personalia birokrasi, pelaksanaan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), maupun dengan minimalisasi transaksi tunai dan pertemuan secara fisik antara penyedia/pemberi layanan dan peminta/penerima layanan. Semuanya untuk mempertahankan eksistensi birokrasi sebagai elemen jalannya pemerintahan yang idealnya imparsial, berintegritas dan profesional.