Kala kampanye silam, Wali Kota Blitar 2025-2029, H. Syauqul Muhibbin, S. H. I dan Wakil Wali Kota Blitar, Elim Tyu Samba melalui berbagai platform digital memaparkan visi-misi dan tekadnya mewujudkan Kota Blitar SAE (Santun, Amanah, dan Excellent). Mas Ibbin berkomitmen meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai programnya. Salah satunya, pengentasan kemiskinan dan memangkas angka pengangguran. Mas Ibbin memastikan dalam 100 hari kerja pascapelantikan, akan bergerak cepat merealisasikan visi dan misi.
Sejak awal Maret 2025 ini, tentu Pemkot Blitar disibukkan dengan pembahasan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025-2029 bersama DPRD. Lazimnya RPJMD ini harus mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Blitar 2025-2045. Tentu Bappeda Kota Blitar harus memutar otak, agar janji politik walikota terpilih 2025-2029 dapat terakomodir secara maksimal dalam RPJMD 2025-2029. Persoalannya, setidaknya bagi penulis, keberadaan 72 janji politik walikota Blitar terpilih tersebut sangat ambisius, bahkan bisa dikatakan tidak melampaui fokus arah kebijakan RPJPD Kota Blitar 2025-2045.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Blitar 2025-2045, untuk Tahap pembangunan pertama (2025-2030), diarahkan untuk 3 penguatan pondasi transformasi sebagai dasar pembangunan. Penguatan pondasi transformasi ekonomi. Penguatan pondasi transformasi sosial, Penguatan Pondasi transformasi lingkungan dan pemerintahan. Bila disandingkan dengan 72 janji politik Walikota terpilih 2025-2029, maka lebih dari setengah jumlah janji melambung dan melampaui logika “penguatan pondasi transformasi.”
Salah satu janji politik tertuang dalam Ranwal RPJMD seperti janji politik nomor 35: Penguatan program Pendidikan sekolah gratis bagi siswa SD/MI dan SMP/MTs warga Kota Blitar dan pemberian fasilitas penunjang pendidikan, meliputi : seragam sekolah, sepatu, kaos kaki, tas, dan kaos olahraga. Janji ini memang cukup relevan sebagai kebijakan dasar akses pendidikan warga kota. Tetapi perlu diingat bahwa pemenuhan janji demikian akan menguras habis energi APBD Pemkot Blitar yang tidak mencapai Rp. 1 Triliun.
Kewajiban pemerintah terhadap penyelenggaraan Pendidikan sesuai UU No 20 tahun 2003 adalah “Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan dasar dan PAUD yang diselenggarakan Pemerintah Daerah yang meliputi: a.pengadaan, pendayagunaan, dan pemeliharaan sarana prasarana pendidikan; b.pendayagunaan, dan pengembangan Pendidik dan Tenaga Kependidikan”
Artinya, tidak ada kewajiban Pemda dalam menyediakan seragam sekolah, sepatu, kaos kaki, tas, dan kaos olahraga. Oleh karena itu di dalam mengimplementasikan Janji Politik No 35, tentu harus diperhitungkan dari kapasitas anggarannya. Bila dirasionalkan, maka janji No 35 ini bersasaran pada masyarakat yang benar-benar di bawah garis kemiskinan. Di sisi lain, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di angka 81,44, jauh lebih tinggi dari rata-rata Jawa Timur, bahkan rangking 7 se-Jawa Timur. Apakah benar untuk kebutuhan pendidikan warga, Pemerintah kota Blitar sampai harus menyediakan seragam sekolah, sepatu, kaos kaki, tas, dan kaos olahraga?”
Janji Politik yang juga sudah dicoba dimasukkan Tim Penyusun RPJMD Kota Blitar adalah janji politik Nomor 12, “Meningkatkan Bantuan Sosial bagi lansia, penyandang disabilitas, dan keluarga tidak mampu.” Disusul janji politik no 13 ” Optimalisasi bantuan beras kesejahteraan daerah (Rastrada) dengan bantuan lauk-pauk bagi keluarga tidak mampu.” Janji walikota di saat kampanye ini dimasukkan dalam RPJMD dalam arah kebijakan “Penuntasan kemiskinan secara terpadu dengan perlindungan sosial terintegrasi”. Cukup sulit merasionalkan kelayakan implementasi janji politik ini dalam kurun 5 tahun ke depan.
Bila direalisasikan secara serampangan, bantuan sosial dengan pendekatan karitatif dan konsumtif (sedekah) ini bertentangan dengan upaya pemberdayaan masyarakat. Harus ada penerjemahan arah kebijakan penuntasan kemiskinan dengan integrasi pendekatan sedekah dan pendekatan pemberdayaan. Tanpa kombinasi dan integrasi, bantuan sosial ala shadaqoh pemerintah hanya akan menambah sejarah kegagalan penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Apalagi di wilayah perkotaan, dimana masyarakat miskin kota yang “hidup” dari sedekah kelompok kaya, hanya akan memupuk kecemburuan sosial dan kerawanan kriminalitas.
Bansos harus diberikan secara hati-hati. Istilah bijaknya: satu kali saudara memberi bansos – penerima akan berterima kasih, Dua kali Bansos diberikan – penerima menjadi berharap, Ketiga kali Bansos diberikan – Penerima merasa pantas sebagai hak mereka, dan ketika Pemkot tidak memberikan Bansos lagi, penerima akan menuntut agar pemkot tetap memberikannya. Dan ketika tidak ada Bansos yang diterima, lahirlah frustasi dan protes sosial.